Saturday, September 13POS VIRAL
Shadow

Bebas Bersyarat, Setya Novanto Kembali ke Golkar? Publik Pertanyakan Komitmen Antikorupsi!

Setya Novanto resmi bebas bersyarat, Golkar membuka pintu bagi Setnov kembali aktif, namun publik mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi.

Bebas Bersyarat, Setya Novanto Kembali ke Golkar? Publik Pertanyakan Komitmen Antikorupsi!

Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin pada 16 Agustus 2025. Keputusan ini menimbulkan kontroversi, mengingat ia merupakan terpidana kasus korupsi mega proyek KTP elektronik yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Meski terjerat kasus besar, Partai Golkar menyatakan tidak ada larangan bagi Setnov untuk kembali aktif dalam kepengurusan partai.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa Setnov masih berstatus kader sah. Menurutnya, Golkar tidak pernah mencabut keanggotaan Setnov, sehingga secara administratif ia tetap menjadi bagian dari keluarga besar partai. Doli menyebut, jika Setnov bersedia aktif kembali, peluangnya terbuka, meskipun lebih tepat ditempatkan pada posisi dewan, bukan di eksekutif.

Pernyataan ini memicu perdebatan publik. Di satu sisi, partai berpegang pada aturan internal dan status formal. Namun di sisi lain, langkah membuka pintu bagi Setnov dipandang sebagai sikap yang mereduksi sensitivitas publik terhadap kasus korupsi besar yang menjerat elit politik.

POSVIRAL hadir di saluran whatsapp, silakan JOIN CHANNEL
tebak skor hadiah pulsabanner-free-jersey-timnas

Proses Hukum dan Kontroversi Remisi

Kasus e-KTP yang menjerat Setnov dimulai sejak 2011, ketika proyek senilai Rp5,9 triliun itu dijalankan dengan indikasi penggelembungan anggaran. Setelah proses panjang, Setnov divonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti USD7,3 juta pada 2018. Hukuman ini sempat dipandang sebagai simbol komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun, serangkaian remisi dan peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung memangkas masa hukumannya menjadi 12,5 tahun. Ia dinilai berkelakuan baik serta telah menjalani lebih dari dua pertiga masa pidana, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Faktor inilah yang membuatnya berhak atas pembebasan bersyarat.

Kontroversi muncul karena rekam jejak Setnov di penjara kerap disorot. Ia pernah kedapatan berada di luar lapas tanpa izin sesuai alasan, hingga memiliki sel dengan fasilitas mewah. Fakta ini membuat publik mempertanyakan standar “berkelakuan baik” yang digunakan pemerintah dalam memberikan remisi kepada koruptor kelas kakap.

Ayo KAWAL TIMNAS lolos PIALA DUNIA, dengan cara LIVE STREAMING GRATIS tanpa berlangganan melalui aplikasi Shotsgoal. Segera download!

aplikasi nonton bola shotsgoal apk

Dampak Politik dan Pertanyaan Publik

Setya Novanto Golkar

Kebebasan Setnov di tengah ingatan publik tentang kasus e-KTP menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana komitmen pemerintah dan partai politik terhadap pemberantasan korupsi jika tokoh besar seperti Setnov bisa kembali diberi ruang politik? Bagi sebagian pihak, ini merupakan sinyal melemahnya efek jera yang seharusnya melekat pada hukuman tindak pidana korupsi.

Partai Golkar berpotensi menghadapi dilema citra. Membuka peluang kembalinya Setnov bisa memperkuat kesan bahwa partai tidak tegas terhadap kader yang tersandung kasus besar. Sebaliknya, menutup pintu bagi Setnov berisiko menimbulkan konflik internal mengingat statusnya sebagai kader senior dan mantan ketua umum.

Di sisi lain, publik menilai kasus ini bukan sekadar soal individu, melainkan simbol masalah sistemik. Ringannya konsekuensi bagi koruptor kelas atas memperkuat persepsi bahwa hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kekecewaan masyarakat bisa berujung pada menurunnya kepercayaan terhadap lembaga politik dan hukum.

Baca Juga: Setya Novanto Bebas Bersyarat Dari Lapas Sukamiskin Terkait Kasus E-KTP

Tantangan Pemberantasan Korupsi

Kasus Setnov memperlihatkan tantangan serius dalam konsistensi pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski aturan hukum memberikan ruang bagi remisi dan bebas bersyarat, pemberlakuan kebijakan ini pada koruptor besar menimbulkan dilema etika. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang dulu memperketat remisi bagi kasus luar biasa telah dicabut pada 2021, membuka jalan bagi koruptor untuk lebih mudah memperoleh keringanan hukuman.

Peneliti antikorupsi dari UGM menilai bahwa kebebasan Setnov adalah kemunduran dalam komitmen nasional melawan korupsi. Hukuman yang semakin ringan bagi pejabat tinggi justru melemahkan semangat reformasi hukum dan memperlebar jarak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Situasi ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus korupsi lain di masa depan.

Jika kondisi ini berlanjut, risiko terbesar adalah munculnya apatisme publik. Ketika masyarakat melihat koruptor bisa kembali ke panggung politik dengan mudah, rasa keadilan semakin luntur. Pemerintah dan partai politik harus menyadari bahwa transparansi, integritas, dan keberanian mengambil sikap tegas adalah kunci untuk menjaga legitimasi demokrasi.

Ikuti perkembangan isu Setya Novanto dan dinamika politik Indonesia lainnya hanya di POS VIRAL untuk informasi terbaru, analisis tajam, dan liputan terpercaya.

Tele Grup
Channel WA
Grup FB
Search