Menteri Kebudayaan Fadli Zon menghadapi gugatan serius di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang berakar dari pernyataannya yang menyangkal peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Gugatan ini diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang menilai pernyataan Fadli telah mendelegitimasi kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kasus tersebut.
Kontroversi ini kembali mengangkat isu sensitif mengenai peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang hingga kini masih menyisakan luka mendalam bagi para korban dan keluarga. Dibawah ini anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya seputaran POS VIRAL.
Latar Belakang Gugatan
Pada 11 September 2025. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas resmi mendaftarkan gugatan administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 303/G/2025/PTUN-JKT. Gugatan ini dilayangkan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai respons atas pernyataannya yang meragukan adanya pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
Dalam wawancara “Real Talk” oleh IDN Times pada 10 Juni 2025. Fadli Zon menyebut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid. Seperti nama, waktu, tempat kejadian, atau pelaku. Pernyataan ini dianggap oleh koalisi sebagai tindakan yang menihilkan fakta sejarah dan merugikan korban.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai bahwa pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan. Antara lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Mereka juga menilai bahwa pernyataan tersebut dapat dianggap sebagai obstruction of justice. Karena menghalangi proses hukum terkait pelanggaran HAM berat. Dalam gugatan tersebut, koalisi mendesak agar Fadli Zon meminta maaf secara terbuka atas pernyataannya dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.
POSVIRAL hadir di saluran whatsapp, silakan JOIN CHANNEL |
Ayo KAWAL TIMNAS lolos PIALA DUNIA, dengan cara LIVE STREAMING GRATIS tanpa berlangganan melalui aplikasi Shotsgoal. Segera download!

Peristiwa Mei 1998
Peristiwa Mei 1998 merupakan salah satu babak kelam dalam sejarah modern Indonesia. Ditandai dengan kerusuhan besar yang melanda berbagai kota, khususnya Jakarta. Selain kerusakan material dan korban jiwa, laporan-laporan kredibel mencatat adanya insiden pemerkosaan massal yang menargetkan perempuan, terutama dari etnis Tionghoa.
Tragedi ini tidak hanya meninggalkan trauma mendalam bagi para korban dan keluarga mereka. Tetapi juga menjadi simbol dari kegagalan negara dalam melindungi warganya.
Meskipun sudah lebih dari dua dekade berlalu, upaya untuk mencari keadilan dan pengakuan bagi korban pemerkosaan massal Mei 1998 masih terus berlanjut. Gugatan terhadap Fadli Zon menjadi pengingat bahwa memori kolektif bangsa tidak boleh dilupakan atau dimanipulasi.
Baca Juga:
Tuntutan Dalam Gugatan Fadli Zon
Dalam gugatan tersebut, koalisi masyarakat sipil menuntut agar Fadli Zon sebagai pejabat negara meminta maaf secara terbuka atas pernyataannya yang dianggap menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Mereka juga menilai bahwa pernyataan tersebut dapat dianggap sebagai obstruction of justice. Karena menghalangi proses hukum terkait pelanggaran HAM berat. Gugatan terhadap Fadli Zon di PTUN Jakarta adalah sebuah langkah penting dalam upaya mencari keadilan dan menegakkan akuntabilitas publik.
Kasus ini menyoroti bagaimana pernyataan seorang pejabat publik dapat memiliki dampak yang luas terhadap memori kolektif dan upaya penegakan hak asasi manusia.
Para penggugat berharap bahwa melalui proses hukum ini. Kebenaran tentang peristiwa Mei 1998 dapat ditegaskan kembali. Dan segala bentuk penyangkalan terhadap kekejaman yang terjadi dapat dihindari.
Lebih dari itu, gugatan ini juga diharapkan dapat mendorong pejabat publik lainnya untuk lebih bijaksana dan bertanggung jawab dalam setiap pernyataan yang mereka sampaikan. Terutama terkait isu-isu sensitif yang memiliki implikasi sejarah dan kemanusiaan.
Perspektif Hukum dan HAM
Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
- UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Pernyataan tersebut dianggap mengabaikan hak korban untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan.
- UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: Menyangkal adanya pelanggaran HAM berat dapat menghambat proses penuntasan kasus.
- UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS): Pernyataan tersebut dianggap menihilkan data dan fakta tentang perkosaan massal. Bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
- Konvensi CEDAW (UU Nomor 7 Tahun 1984): Pernyataan tersebut dinilai diskriminatif terhadap perempuan.
- Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT, UU Nomor 5 Tahun 1998): Pernyataan tersebut dianggap menjauhkan korban dari akses pemulihan dan merendahkan martabat korban.
Terima kasih atas waktunya. Semoga informasi ini bisa membantu Anda dan siap menghadapi situasi apa pun. Kunjungi kami lagi untuk terus mendapatkan kabar viral dan update terkini lainnya di POS VIRAL.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari www.liputan6.com
- Gambar Kedua dari nasional.kompas.com