Friday, November 21POS VIRAL
Shadow

Membongkar Isi RUU KUHAP: Benarkah Aparat Bisa Menangkap Tanpa Bukti?

Perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) belakangan ini kembali mencuat dan menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.

Membongkar Isi RUU KUHAP Benarkah Aparat Bisa Menangkap Tanpa Bukti

Salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan adalah anggapan bahwa rancangan aturan tersebut memberikan wewenang lebih luas kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan tanpa bukti yang jelas.

Simak berbagai berita dan informasi menarik lainnya yang bisa Anda temukan di POS VIRAL.

tebak skor hadiah pulsabanner-free-jersey-timnas

Apa yang Sebenarnya Diatur

Isu ini bermula dari narasi viral di media sosial yang menyebut bahwa RUU KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) versi baru memberi kekuasaan sewenang-wenang kepada aparat penegak hukum bisa menangkap, menahan. Bahkan menggeledah seseorang meski belum ada tindakan pidana yang benar-benar dikonfirmasi.

Narasi tersebut sangat sensitif karena menyentuh hak dasar warga negara terkait perlindungan terhadap penangkapan dan penyalahgunaan wewenang.

Namun, menurut penelusuran tim cek fakta SuaraSumbar, klaim bahwa “aparat boleh menangkap orang tanpa bukti” tidak tepat. Berdasarkan draf resmi KUHAP baru yang diunggah di situs.

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH). Pasal 93 dan Pasal 99 menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan hanya boleh dilakukan dengan persetujuan penyidik dan berdasarkan minimal dua alat bukti. Dengan demikian, ada syarat bukti yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

POSVIRAL hadir di saluran whatsapp, silakan JOIN CHANNEL

Ayo KAWAL TIMNAS lolos PIALA DUNIA, dengan cara LIVE STREAMING GRATIS tanpa berlangganan melalui aplikasi Shotsgoal. Segera download!

aplikasi nonton bola shotsgoal apk

Penegasan Oleh DPR

Menyikapi kekhawatiran publik, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan bahwa narasi yang menyebut polisi bisa menangkap begitu saja tanpa ada konfirmasi tindak pidana adalah hoaks (atau setidaknya “berita yang tidak pas”).

Menurut dia, di KUHAP baru, penangkapan dan penahanan tetap dibatasi harus berdasarkan dua alat bukti minimal sebelum bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka.

DPR juga menjelaskan bahwa isu penyadapan, pembekuan rekening. Hingga penyitaan paksa tanpa kontrol tidak ada di KUHAP baru. Misalnya, menurut Habiburokhman, KUHAP baru tidak mengatur penyadapan; itu diatur oleh undang-undang lain.

Selain itu, untuk penyitaan, KUHAP baru mengenal konsep “keadaan mendesak” yang memungkinkan tindakan tanpa izin pengadilan. Tetapi hanya pada benda bergerak dan dengan waktu terbatas.

Baca Juga: Rizal Chalid Serahkan Daftar Nama Anggota DPR Penerima Suap

Perlindungan Tambahan Dalam RUU KUHAP Baru

Perlindungan Tambahan Dalam RUU KUHAP Baru

Di sisi lain, RUU KUHAP baru juga menghadirkan sejumlah ketentuan yang dianggap progresif dan mendukung hak asasi. Beberapa perubahan positif yang diperkenalkan antara lain perkuatan peran advokat (pengacara) sejak tahap penyelidikan.

Kewajiban rekaman pemeriksaan (CCTV) di tempat interogasi, dan mekanisme restorative justice yang memungkinkan penyelesaian sengketa tanpa proses pidana penuh jika disetujui oleh korban dan pelaku.

Kementerian Hukum bahkan menyatakan bahwa KUHAP baru bertujuan menyeimbangkan wewenang aparat penegak hukum dengan perlindungan hak warga negara. Eddy, Wakil Menteri Hukum. Menyebut bahwa advokat harus dilibatkan sejak awal proses penyelidikan sebagai mitra wajib agar tidak terjadi kriminalisasi sewenang-wenang.

Kritik Dari Lembaga HAM

Meski DPR menyebut klaim penangkapan tanpa bukti sebagai hoaks. Sejumlah organisasi masyarakat sipil tetap menyuarakan keprihatinan serius. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyebut beberapa pasal dalam RUU KUHAP bermasalah dan rentan disalahgunakan.

Mereka khusus menyoroti teknik penyelidikan seperti “undercover buy” (pembelian menyamar) dan “controlled delivery” (pengiriman barang di bawah pengawasan), yang diatur di Pasal 16. Menurut mereka, tanpa kontrol yang cukup, aparat bisa “menjebak” seseorang dan menciptakan dugaan tindak pidana.

Selain itu, mereka khawatir definisi “keadaan mendesak” dalam pasal penyitaan terlalu longgar termasuk frasa “situasi berdasarkan penilaian penyidik” sehingga memberikan fleksibilitas yang besar bagi penyidik untuk melakukan penyitaan cepat tanpa persetujuan hakim.

ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) juga menyatakan bahwa meski ada upaya perlindungan. Mekanisme pengawasan terhadap tindakan paksa belum cukup kuat.

Terima kasih atas waktunya, semoga informasi ini bisa membantu Anda dan siap menghadapi situasi apa pun, kunjungi kami lagi untuk terus mendapatkan kabar viral dan update terkini lainnya di POS VIRAL.


Sumber Informasi Gambar:

  • Gambar Pertama dari www.detik.com
  • Gambar Kedua dari www.bbc.com
Tele Grup
Channel WA
Grup FB
Search