Kasus kematian mahasiswa Universitas Lampung (Unila) karena kekerasan saat Diksar bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia.
Kabar duka ini menyebar cepat, bukan hanya di kalangan civitas akademika, tapi juga menyulut amarah masyarakat luas. Bagaimana mungkin di era modern seperti sekarang, kekerasan dalam kegiatan kemahasiswaan masih terus terjadi? Dan lebih gilanya lagi korban dipaksa meneguk cairan beracun sebagai bagian dari proses “pembentukan mental”.
Kronologi Kejadian
Korban diketahui bernama Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa baru di salah satu fakultas di Unila. Ia mengikuti kegiatan Diksar yang diadakan oleh organisasi Mapala X (nama organisasi disamarkan demi kepentingan hukum). Kegiatan tersebut dilaksanakan di daerah perbukitan yang cukup terpencil di wilayah Lampung.
Awalnya, kegiatan ini bertujuan membentuk karakter, ketahanan fisik, dan mental peserta. Namun, menurut kesaksian beberapa peserta lain, suasana Diksar berubah mencekam sejak hari kedua. Beberapa senior mulai bertindak kasar. Mereka memberikan tekanan fisik dan mental secara berlebihan. Dari mulai push-up tanpa henti, makian bertubi-tubi, hingga hukuman-hukuman ekstrem yang di luar nalar.
Puncaknya terjadi ketika Wijaya diduga dipaksa menenggak spiritus sebagai “hukuman” karena dianggap tidak patuh. Cairan kimia tersebut langsung membuatnya tersungkur. Tubuhnya kejang, muntah darah, dan dalam waktu singkat mengalami penurunan kesadaran drastis. Alih-alih diberi pertolongan cepat, korban justru disebut sempat dibiarkan begitu saja oleh para senior.
POSVIRAL hadir di saluran whatsapp, silakan JOIN CHANNEL |
Ayo KAWAL TIMNAS lolos PIALA DUNIA, dengan cara LIVE STREAMING GRATIS tanpa berlangganan melalui aplikasi Shotsgoal. Segera download!

Terlambat Ditangani Nyawa Tak Tertolong
Ketika kondisi korban makin kritis, barulah panitia berinisiatif membawa korban ke fasilitas medis. Namun, semuanya sudah terlambat. Wijaya dinyatakan meninggal dunia saat diperiksa di rumah sakit terdekat. Penyebab kematiannya diduga kuat akibat keracunan etanol tinggi dari cairan spiritus yang ia konsumsi secara paksa.
Pihak rumah sakit juga menemukan beberapa luka memar dan lecet di tubuh korban, menandakan adanya dugaan penyiksaan fisik. Dalam hitungan jam, kabar ini menyebar luas. Orang tua korban histeris, rekan-rekan kampus terpukul, dan media sosial meledak dengan tagar #KeadilanUntukWijaya.
Baca Juga: Protes Keras di Bandara Sorong! Warga Tuntut Keadilan Atas Tambang Nikel Raja Ampat
Kampus dan Polisi Turun Tangan
Pihak Universitas Lampung tak tinggal diam. Dalam konferensi pers, pihak rektorat menyampaikan duka mendalam dan berjanji akan mengusut tuntas kejadian ini. Organisasi Mapala X langsung dibekukan, dan sejumlah senior serta panitia Diksar ditangguhkan dari aktivitas kemahasiswaan.
Pihak kepolisian pun langsung membuka penyelidikan. Beberapa saksi dari peserta Diksar sudah diperiksa, dan beberapa panitia diduga kuat menjadi tersangka atas tindakan kekerasan hingga menyebabkan kematian. Barang bukti seperti botol spiritus, video rekaman kegiatan, hingga hasil visum korban tengah dianalisis lebih lanjut.
“Kami sudah mengantongi nama-nama yang bertanggung jawab. Kasus ini akan kami bawa ke ranah pidana,” ujar salah satu perwira kepolisian saat diwawancarai awak media.
Potret Diksar yang Menyimpang
Kasus kematian mahasiswa karena kekerasan saat Diksar bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada belasan kasus serupa dari tewas karena tenggelam, hipotermia, hingga penyiksaan fisik berujung maut. Ironisnya, semua ini dilakukan atas nama “pengkaderan”, seolah-olah menyakiti orang lain adalah metode sah untuk menumbuhkan jiwa petualang dan solidaritas.
Pertanyaannya: sampai kapan institusi pendidikan menoleransi kekerasan yang dibungkus embel-embel “pelatihan karakter”?
Diksar yang seharusnya menjadi tempat pengembangan potensi malah menjelma jadi ladang teror dan trauma. Budaya senioritas yang membabi buta, ditambah kurangnya pengawasan dari kampus, menjadi akar masalah yang tak kunjung dicabut tuntas.
Publik Menuntut Keadilan
Gelombang kecaman terus membanjiri media sosial dan ruang-ruang diskusi publik. Banyak pihak menilai bahwa kasus ini harus dijadikan momentum perombakan total sistem pengkaderan organisasi kemahasiswaan. Mulai dari peningkatan pengawasan, pembinaan mental senior, hingga pemberian sanksi tegas terhadap pelaku.
Beberapa aktivis HAM bahkan menyarankan agar kampus tak hanya membekukan organisasi, tapi juga menempuh jalur hukum atas nama institusi. Sebab, jika tidak, tragedi semacam ini akan terus berulang dengan nama, lokasi, dan korban yang berbeda.
“Jangan biarkan anak-anak bangsa yang ingin belajar dan berkembang justru mati sia-sia karena arogansi senior yang merasa berkuasa,” ujar salah satu aktivis pendidikan dalam wawancara daring.
Simak dan ikuti terus informasi terlengkap tentang Berita Viral Hari Ini yang akan kami berikan setiap harinya.
- Gambar Utama dari news.okezone.com
- Gambar Kedua dari www.detikcom