Seorang duda bernama Samsul Mukmin dari Probolinggo baru-baru ini menarik perhatian publik setelah menikahi seorang janda bernama Sumiati dengan maskawin sebuah linggis.
Menurut Samsul, linggis dipilih karena sifatnya yang serba bisa, kuat, dan kokoh, melambangkan harapan agar pernikahan mereka dapat bertahan lama dan memberikan mereka kekuatan dalam membangun rumah tangga. Dengan tambahan maskawin berupa uang senilai Rp 100 ribu, keduanya memulai kehidupan baru bersama dengan penuh harapan dan keinginan untuk menciptakan kebahagiaan yang abadi. Dibawah ini POS VIRAL akan membahas lebih lanjut lagi mengenai Duda di Probolinggo menikahi seorang janda dengan maskawin sebuah linggis.
Keunikan Mahar dalam Tradisi Pernikahan
Pernikahan di Indonesia seringkali dihiasi dengan tradisi mahar atau mas kawin yang unik dan penuh makna. Seperti halnya yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur, pernikahan seorang duda dengan seorang janda menjadi sorotan karena mahar yang diberikan adalah sebuah linggis. Keputusan ini tidak hanya mencuri perhatian masyarakat setempat, tetapi juga menjadi viral di media sosial.
Tradisi pemilihan mahar di berbagai daerah di Indonesia memang sering kali mencerminkan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dalam hal ini, mahar berupa linggis dianggap unik, namun penuh dengan filosofi mendalam yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Apa sebenarnya makna di balik linggis sebagai mahar pernikahan tersebut.?
POSVIRAL hadir di saluran wahtsapp, silakan JOIN CHANNEL |
Cerita di Balik Linggis Sebagai Mahar
Seorang duda di Probolinggo menikahi seorang janda dengan maskawin linggis. Dengan melihat maskawin berupa linggis, banyak yang mengira duda itu adalah seorang pekerja bangunan. Ternyata tidak, duda itu bekerja sebagai penjual kerupuk. Duda itu bernama Samsul Mukmin (46). Dia meminang seorang janda bernama Sumiati (45). Keduanya sama-sama warga Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo.
Dengan maskawin yang unik itu keduanya melangsungkan pernikahan secara sederhana di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tongas. Setelah menikah mereka tinggal bersama sebagai suami istri di sebuah rumah di Desa Dungun, Tongas, Probolinggo. Belakangan diketahui, Samsul ternyata bukan seorang pekerja bangunan mengingat maskawin linggis yang dipilih. Ia ternyata seorang penjual kerupuk.
Samsul mengungkapkan itu ketika ditemui di rumahnya. Dia juga menyampaikan pendapatan per hari dari pekerjaannya itu. “Saya sehari-hari berjualan kerupuk. Penghasilannya tidak besar, antara Rp 50 ribu sampai Rp 75 ribu dalam sehari,” kata Samsul. Dia juga menyatakan bahwa linggis yang dijadikan maskawin saat meminang dan menikahi Sumiati istrinya itu bukan linggis bekas. Ia membelinya baru. “Saya beli baru. Saya memang niatkan memilih maskawin linggis karena menyimbolkan kekuatan,” ujarnya.
Usut punya usut, linggis memang merupakan perkakas yang wajib ada di setiap rumah di Desa Dungun tempat Samsul dan Sumiati tinggal. Alat itu memang bisa dipakai untuk berbagai keperluan. Bahkan linggis bisa dipakai untuk berbagai keperluan yang seharusnya dilakukan dengan perkakas lain seperti palu.
Selain itu, Samsul dan Sumiati sudah saling memahami bahwa linggis yang menjadi maskawin pernikahan mereka menjadi bekal awal membangun rumah mereka. Samsul dan Sumiati memang ingin membangun atau membenahi rumah sederhana mereka di Desa Dungun, agar lebih nyaman ditempati. Tapi itu baru akan dilakukan bila mendapatkan rezeki lebih. “Linggis kan bisa digunakan untuk membangun rumah,” ujar pria yang telah memiliki 2 anak dari pernikahannya dengan istri sebelumnya yang tela meninggal.
Baca Juga:
Maskawin dan Filosofinya dalam Budaya Jawa
Maskawin atau mahar dalam tradisi pernikahan Jawa memiliki makna yang dalam dan penting. Dalam kebudayaan Jawa, maskawin merupakan simbol penghormatan dan tanggung jawab yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Mahar ini sering kali berupa uang, emas, atau barang berharga lainnya yang diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi pengantin perempuan.
Namun, dalam pernikahan Samsul dan Siti, linggis dipilih bukan tanpa alasan. Menggunakan linggis sebagai mahar juga mencerminkan filosofi budaya Jawa yang sangat menghargai makna simbolis daripada materialitas. Linggis, meskipun sederhana, dipercaya dapat melambangkan keteguhan, usaha keras, dan kemampuan untuk menghadapi berbagai rintangan dalam kehidupan. Dalam konteks pernikahan mereka, linggis menjadi simbol bahwa mereka siap untuk membangun keluarga yang kokoh dan tidak mudah goyah.
Peran Keluarga dalam Keputusan Pernikahan
Seperti halnya pernikahan tradisional lainnya, keluarga memegang peran yang sangat penting dalam menentukan kelancaran acara. Samsul dan Siti tidak hanya mendapatkan restu dari orang tua masing-masing, tetapi juga dukungan dari keluarga besar. Beberapa anggota keluarga Samsul bahkan mengungkapkan bahwa pilihan linggis sebagai mahar adalah wujud dari tekad dan keberanian Samsul dalam menghadapinya.
Mereka mendukung penuh keputusan tersebut, karena menurut mereka, pilihan tersebut mencerminkan tekad yang kuat dan kemauan untuk menjaga hubungan agar tetap bertahan dalam segala kondisi. Di sisi lain, keluarga dari Siti, meskipun sempat terkejut dengan pilihan linggis, akhirnya mengerti dan menerima makna yang terkandung di dalamnya. Mereka merasa bahwa pernikahan ini adalah milik kedua mempelai, dan mereka lebih menghargai ketulusan dan komitmen yang ada di balik keputusan tersebut.
Reaksi Masyarakat Terhadap Mahar Linggis
Reaksi masyarakat terhadap pernikahan ini cukup beragam. Beberapa orang menganggap bahwa pilihan Samsul sangat orisinal dan penuh makna, karena mahar tidak selalu harus berupa uang atau barang mewah. “Saya rasa ini adalah cara yang unik untuk mengekspresikan komitmen dalam pernikahan,” kata seorang tetangga yang hadir di acara tersebut. Mereka berpendapat bahwa linggis sebagai simbol ketahanan dalam pernikahan adalah sebuah nilai yang sangat penting.
Namun, ada juga yang merasa terkejut dan bingung dengan pilihan tersebut. Bagi mereka, maskawin berupa barang seperti emas atau uang lebih lazim dipilih karena dianggap lebih praktis dan sesuai dengan tradisi yang ada. Mereka merasa bahwa menggunakan barang yang tidak lazim seperti linggis bisa menimbulkan kesan aneh atau bahkan merendahkan makna sakral pernikahan. Meski begitu, sebagian besar masyarakat akhirnya menerima keputusan ini, karena bagi mereka yang terlibat langsung, pernikahan ini adalah bentuk keseriusan dari kedua mempelai.
Kesimpulan
Kisah duda Probolinggo yang menikahi janda dengan mahar linggis ini menjadi contoh nyata bahwa pernikahan tidak selalu harus mewah atau penuh kemegahan. Kesederhanaan dan makna di balik mahar justru menjadi nilai yang lebih penting daripada materi semata. Linggis sebagai mahar tak hanya menunjukkan kreativitas, tetapi juga pesan mendalam tentang kerja keras dan komitmen.
Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi banyak orang bahwa kebahagiaan dalam pernikahan tidak diukur dari mahalnya mahar, tetapi dari ketulusan dan cinta yang terjalin antara dua hati. Pasangan ini telah membuktikan bahwa cinta sejati tidak memandang materi, melainkan semangat untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik. Simak dan ikuti terus informasi terlengkap dan terbaru tentang Maskawin Sebuah Linggis.