Kasus pernikahan dini kembali menjadi sorotan nasional setelah video prosesi nyongkolan yang menampilkan pasangan remaja berusia 15 dan 17 tahun viral di media sosial.
Kejadian yang terjadi di Kabupaten Lombok Tengah. Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menggugah perhatian berbagai pihak, mulai dari masyarakat. Lembaga perlindungan anak.
Hingga pemerintah pusat yang menegaskan pentingnya penegakan hukum dan edukasi untuk mencegah fenomena pernikahan anak yang masih terkadang sulit dihapuskan di daerah-daerah tertentu di Indonesia POS VIRAL.
Kronologi Kejadian
Pasangan yang diketahui berinisial SY. Seorang gadis berumur 15 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SR, pemuda berusia 17 tahun yang sudah putus sekolah. Melakukan prosesi pernikahan tradisional yang dikenal dengan nama “nyongkolan” secara diam-diam di salah satu desa di Lombok Tengah.
Nyongkolan merupakan tradisi arak-arakan pengantin yang biasanya dirayakan meriah dalam adat Sasak setempat.
Sebelum acara tersebut berlangsung. Pemerintah desa setempat telah berusaha keras untuk mencegah pernikahan dini ini dengan berulang kali mengingatkan kedua keluarga. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil karena kedua belah pihak tetap bersikeras melaksanakan pernikahan secara sembunyi-sembunyi.
Bahkan, setelah pernikahan berlangsung. Aparat desa berusaha melarang pelaksanaan prosesi nyongkolan yang kemudian membuat video tersebut viral di berbagai platform media sosial.
POSVIRAL hadir di saluran whatsapp, silakan JOIN CHANNEL |
Ayo KAWAL TIMNAS lolos PIALA DUNIA, dengan cara LIVE STREAMING GRATIS tanpa berlangganan melalui aplikasi Shotsgoal. Segera download!

Reaksi Lembaga Perlindungan Anak
Viralnya video ini menimbulkan keprihatinan dan kontroversi di tengah masyarakat. Banyak warganet mengungkapkan kesedihan dan kekhawatiran atas keputusan pasangan muda ini yang menikah di usia sangat rentan. Masyarakat mempertanyakan apakah pernikahan anak seperti ini masih diperbolehkan mengingat telah ada aturan hukum yang melarang perkawinan di bawah usia 19 tahun.
Merespons hal ini, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram segera turun tangan dengan melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian Polres Lombok Tengah sebagai bentuk penegakan hukum terhadap praktik pernikahan anak.
Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi. Tegas menyatakan bahwa setiap pihak yang memfasilitasi pernikahan anak. Termasuk orang tua dan penghulu yang menikahkan. Dapat dikenakan sanksi hukum sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Baca Juga: Aksi Nekat Pengendara Motor yang Tabrak Polisi Saat Razia di Tebing Tinggi
Aspek Hukum Pernikahan Anak di Indonesia
Di Indonesia, pernikahan dini di bawah usia 19 tahun sebenarnya sudah dilarang oleh UU Perkawinan yang berlaku. Selain itu, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga mengklasifikasikan pemaksaan perkawinan anak sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual. Dengan ancaman hukuman penjara hingga sembilan tahun bagi pelaku yang memfasilitasi atau memaksa anak untuk menikah.
Namun, kenyataannya, penegakan hukum dan pemahaman masyarakat terutama di daerah dengan tradisi kental. Seperti di Lombok Tengah masih menghadapi berbagai tantangan. Tradisi merariq (melarikan perempuan sebagai bagian dari prosesi perkawinan adat) dan budaya patriarki membuat praktik pernikahan anak kerap terjadi walaupun sudah ada larangan dari negara.
Faktor Penyebab Pernikahan Dini di NTB
Berbagai faktor yang mendasari tingginya angka pernikahan dini di NTB ini juga patut mendapat perhatian serius. Salah satu faktor utama adalah kuatnya tradisi adat yang terus dipegang oleh sebagian masyarakat. Misalnya, praktik merariq dan nyongkolan sebagai simbolisasi perkawinan sering kali tidak bisa dilepaskan dari pengejawantahan budaya lokal yang diwariskan turun-temurun.
Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi pendorong pernikahan anak. Keluarga dengan kondisi ekonomi sulit terkadang memilih menikahkan anak supaya beban ekonomi berkurang atau berharap anak dapat menjadi penghasilan tambahan keluarga. Sistem pendidikan yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan baik juga menyebabkan tingginya angka putus sekolah yang berujung pada pernikahan dini.
Emosi dan stigma sosial juga tidak kalah penting. Banyak remaja di NTB yang memutuskan menikah dini karena takut distigma “perawan tua” atau tekanan sosial agar segera menikah sebelum usia tertentu. Yang erat dengan konstruksi budaya patriarki di daerah tersebut.
Upaya Pemerintah dan Organisasi Sipil
Menanggapi permasalahan ini, pemerintah NTB bersama berbagai instansi terkait telah melakukan sejumlah langkah strategis. Pemerintah daerah telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak untuk mengontrol dan menekan angka perkawinan anak secara sistematis. Selain itu, berbagai kampanye penyuluhan dan edukasi mengenai bahaya pernikahan dini dilakukan di tingkat desa dengan melibatkan tokoh adat dan tokoh agama.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan organisasi masyarakat sipil bekerjasama dalam mengawasi dan mendampingi anak-anak yang terancam atau sudah menikah di usia dini. Dengan program edukasi kesehatan reproduksi dan perlindungan hukum. Di sisi lain, aparat penegak hukum kini mulai lebih aktif melakukan penyelidikan dan penindakan terhadap kasus pernikahan anak yang melanggar undang-undang.
Simak dan ikuti terus informasi terlengkap tentang Berita Viral Hari Ini yang akan kami berikan setiap harinya.
- Gambar Utama dari www.liputan6.com
- Gambar Kedua dari www.detik.com