Sebuah unggahan viral dari seorang wanita lulusan S1 mengundang keprihatinan publik usai ia mengaku memilih jadi asisten rumah tangga (ART) daripada bertahan sebagai guru honorer.
Keputusan itu bukan tanpa alasan. Dengan penghasilan sebagai guru honorer yang tak memadai, ia merasa hidupnya tidak sejahtera. Kini, sebagai ART, ia justru mendapat penghasilan yang lebih layak, fasilitas memadai, dan hidup yang lebih tenang. Kisah ini pun memantik diskusi serius tentang nasib guru honorer di negeri ini.
Berikut ini POS VIRAL akan membahas kisah viral seorang lulusan S1 yang memilih menjadi asisten rumah tangga karena gaji guru honorer yang rendah serta dampaknya terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Realita Pahit Menjadi Guru Honorer
Menjadi guru adalah cita-cita mulia. Namun, kenyataan pahit kerap harus ditelan oleh mereka yang menjalani profesi ini, terutama sebagai guru honorer. Seperti yang dialami oleh wanita dalam unggahan akun Instagram @rumpi_gosip, ia mengaku hanya menerima gaji sebesar Rp1,5 juta per bulan sebagai guru honorer. Jumlah yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup di kota besar.
Beban kerja yang tak kalah berat dengan guru PNS, tanggung jawab mendidik generasi masa depan, serta tuntutan profesionalisme membuat banyak guru honorer akhirnya merasa lelah secara fisik maupun mental. Dalam kondisi seperti itu, apakah salah jika mereka memilih jalan lain yang lebih menjamin kesejahteraan?
Pilih Jadi ART
Wanita itu memutuskan untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga setelah merasa tak ada jalan keluar dari tekanan ekonomi yang ia alami sebagai guru honorer. Dalam unggahannya, ia mengatakan sudah dua bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh anak, dengan gaji Rp3,8 juta. Lebih dari dua kali lipat dari yang ia terima saat menjadi guru.
Tidak hanya itu, ia juga mendapatkan tempat tinggal, makanan, kebutuhan mandi, dan bahkan kerap diajak rekreasi oleh majikannya. Ia pun mengaku tak lagi malu dengan pekerjaannya, meskipun menyandang gelar sarjana. Baginya, martabat tidak ditentukan oleh gelar atau status, melainkan oleh kemampuan untuk hidup layak.
“Gue udah gak malu lagi jadi pembantu. Hidup gue sekarang lebih tenang, gak stres mikirin bayar kos, makan, dan kebutuhan lain,” tulisnya.
POSVIRAL hadir di saluran whatsapp, silakan JOIN CHANNEL |
Ayo KAWAL TIMNAS lolos PIALA DUNIA, dengan cara LIVE STREAMING GRATIS tanpa berlangganan melalui aplikasi Shotsgoal. Segera download!

Reaksi Netizen
Unggahan tersebut sontak memicu banyak reaksi dari warganet. Sebagian besar memberikan dukungan moral, menyebut bahwa semua pekerjaan itu mulia selama dilakukan dengan niat baik dan halal. Komentar seperti “Yang penting bisa hidup layak dan bahagia” atau “Jangan malu jadi pembantu, yang penting halal dan jujur” membanjiri kolom komentar.
Namun, tak sedikit pula yang menyoroti persoalan sistemik yang lebih besar, betapa tidak layaknya penghargaan negara terhadap profesi guru honorer. Sejumlah warganet menumpahkan kekesalan mereka terhadap pemerintah yang dianggap abai terhadap nasib para pendidik.
“Sistem kita rusak. Guru honorer digaji kayak bukan manusia. Jangan lagi pakai alasan pengabdian dan loyalitas kalau tidak dibarengi dengan kesejahteraan,” tulis seorang netizen.
Netizen lainnya mengungkapkan pengalaman pribadinya, “Adekku digaji Rp500 ribu per bulan dan itu pun telat 3 bulan. Sakit hati kalau denger pejabat ngomong soal pentingnya pendidikan, tapi guru kayak gini diperlakukan gak adil.”
Baca Juga: Tragedi Berdarah di Festival Keagamaan Meksiko, 11 Orang Tewas Ditembak
Cermin Buram Sistem Pendidikan Indonesia
Kisah ini menjadi gambaran nyata bahwa sistem pendidikan kita masih menyimpan luka mendalam. Guru, yang sering disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, nyatanya justru tak jarang harus menanggung beban hidup yang berat demi bertahan di profesinya. Ironisnya, penghargaan terhadap mereka sangat minim, baik dari sisi gaji maupun perlindungan kesejahteraan.
Fenomena guru honorer yang banting setir bukan hal baru. Banyak dari mereka memilih bekerja di sektor lain, seperti ojek online, penjaga toko, hingga ART, demi mendapatkan penghasilan yang lebih layak. Hal ini memperlihatkan bahwa gelar akademik tak lagi menjamin kehidupan yang baik jika sistem tak berpihak pada kesejahteraan tenaga pendidik.
Pemerintah semestinya tidak menutup mata atas kenyataan ini. Pendidikan tak hanya soal kurikulum atau infrastruktur, tapi juga bagaimana menghargai manusia yang ada di dalam sistem tersebut terutama guru.
Harapan Untuk Masa Depan
Kisah viral ini seharusnya tak berhenti sebagai bahan perbincangan semata. Ini adalah sinyal keras bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola tenaga pengajar di Indonesia. Pemerintah perlu melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem perekrutan dan penggajian guru honorer. Kesejahteraan guru harus menjadi prioritas, bukan hanya sekadar wacana kampanye.
Pengangkatan guru honorer menjadi ASN, penyederhanaan birokrasi tunjangan, dan pemberian perlindungan sosial adalah langkah awal yang bisa dilakukan. Di sisi lain, masyarakat juga perlu mulai mengubah cara pandangnya terhadap profesi guru dan tidak lagi memaksa mereka bertahan atas nama “pengabdian” jika negara sendiri tidak hadir untuk mereka.
Kesimpulan
Kisah wanita lulusan S1 yang memilih menjadi ART membuka mata banyak orang bahwa dalam kehidupan nyata, gelar dan status sering kali kalah oleh kebutuhan hidup. Ia tidak menyerah pada keadaan, tapi memilih jalan yang lebih realistis. Kisah ini bukan tentang kegagalan, tapi tentang keberanian mengambil keputusan demi martabat dan kesejahteraan diri.
Dan lebih dari itu, ini adalah pengingat bahwa guru, yang seharusnya menjadi ujung tombak kemajuan bangsa, layak mendapatkan lebih dari sekadar ucapan terima kasih. Simak dan ikuti terus POS VIRAL agar Anda tidak ketinggalan berita informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar dari lifestyle.okezone.com