Viral, aksi brutal Polisi ke Pendemo yang menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Surabaya pada 24 Maret 2025 telah menajdi sorotan media sosial.
Video yang beredar di media sosial memperlihatkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, memicu perdebatan sengit tentang batas kewenangan dan proporsionalitas penggunaan kekuatan dalam mengendalikan aksi massa. Insiden ini sekali lagi mengangkat isu sensitif mengenai kebebasan berpendapat dan peran aparat penegak hukum dalam menjaga ketertiban umum tanpa melanggar hak asasi manusia. POS VIRAL akan membahas lebih dalam lagi mengenai aksi brutal Polisi ke pendemo yang menolak Revisi UU TNI di Surabaya.
Awal Mula Demonstrasi dan Eskalasi Konflik
Aksi unjuk rasa di Surabaya dimulai dengan semangat tinggi dari para peserta yang berkumpul di depan Gedung Negara Grahadi. Massa aksi, yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil, menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI yang dianggap mengancam supremasi sipil dan berpotensi mengembalikan dwifungsi militer.
Orasi-orasi yang berapi-api dan spanduk-spanduk penolakan menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap kontroversial. Namun, suasana damai tidak bertahan lama. Ketegangan mulai terasa ketika sebagian demonstran membakar ban dan banner bergambar Presiden Prabowo serta tokoh-tokoh yang dianggap sebagai aktor di balik RUU TNI.
Aksi ini memancing reaksi keras dari aparat kepolisian yang berjaga. Insiden pelemparan botol dan batu ke arah polisi menjadi titik balik yang memicu eskalasi konflik. Polisi, yang awalnya menahan diri, akhirnya membalas dengan menembakkan gas air mata dan water cannon ke arah massa.
POSVIRAL hadir di saluran wahtsapp, silakan JOIN CHANNEL |
Ayo KAWAL TIMNAS lolos PIALA DUNIA, dengan cara LIVE STREAMING GRATIS tanpa berlangganan melalui aplikasi Shotsgoal. Segera download!

Aksi Represif Polisi dan Dampaknya
Tindakan represif polisi terhadap demonstran menjadi sorotan utama dalam insiden ini. Video-video yang beredar luas di media sosial menunjukkan aparat kepolisian melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap demonstran. Beberapa video bahkan memperlihatkan tindakan kekerasan fisik, seperti pemukulan dan penendangan, yang dilakukan oleh aparat terhadap demonstran yang sudah tidak berdaya.
Akibat tindakan represif tersebut, sejumlah demonstran mengalami luka-luka dan harus mendapatkan perawatan medis. Beberapa di antaranya bahkan ditangkap dan diamankan di Mapolrestabes Surabaya. Koordinator Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir, menyebutkan bahwa lebih dari 25 pendemo diamankan. Pihaknya juga menyayangkan tindakan represif aparat kepolisian dan berupaya memberikan pendampingan hukum kepada para demonstran yang ditangkap.
Baca Juga: Timnas Indonesia Kalahkan Bahrain, Warganet Rayakan Kemenangan Seperti Lebaran Penuh Senyum!
Reaksi Publik dan Tuntutan Keadilan
Aksi brutal polisi terhadap demonstran memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Organisasi masyarakat sipil, aktivis HAM, dan warganet mengecam tindakan represif tersebut dan menuntut adanya investigasi yang transparan dan akuntabel. Mereka menilai bahwa aparat kepolisian telah melampaui batas kewenangannya dan melanggar hak asasi manusia.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga, Aulia Thaariq Akbar, membenarkan adanya mahasiswa Unair yang juga diamankan dalam aksi tersebut. Pihaknya menyatakan keprihatinannya atas insiden ini dan menuntut agar aparat kepolisian menghormati hak-hak demonstran serta menghentikan tindakan represif.
Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty Dewi, membenarkan adanya penangkapan terhadap sejumlah demonstran. Namun, ia membantah bahwa tindakan tersebut merupakan penangkapan, melainkan pengamanan untuk proses penyelidikan atas aksi anarkis yang dilakukan oleh demonstran. Ia juga tidak memberikan keterangan mengenai kapan para demonstran tersebut akan dibebaskan.
Implikasi dan Refleksi
Insiden di Surabaya ini menjadi catatan kelam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Tindakan represif aparat kepolisian terhadap demonstran tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mencoreng citra Polri sebagai pengayom masyarakat.
Ke depan, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan yang digunakan oleh aparat kepolisian dalam mengamankan aksi demonstrasi. Pendekatan yang lebih dialogis dan humanis perlu diutamakan, dengan menghormati hak-hak demonstran untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka. Selain itu, perlu adanya mekanisme pengawasan yang efektif untuk mencegah terjadinya tindakan represif oleh aparat kepolisian.
Pemerintah dan DPR juga perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dengan masyarakat terkait isu-isu yang kontroversial, termasuk revisi UU TNI. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan akan mengurangi potensi terjadinya konflik dan meningkatkan legitimasi kebijakan yang dihasilkan.
Manfaatkan waktu anda untuk mengeksplorisasi berita menarik dan terupdate lainnya hanya di POS VIRAL.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari suara.com
- Gambar Kedua dari jateng.tribunnews.com